OPINI

Perspektif Hukum terhadap Penyanderaan Ijazah dalam Kasus SMA Negeri 18 Palembang

Dr. Dadang Apriyanto,S.Pd.,SH.,MM.,MH.,C.Med.,C.MLC Akademisi dan Praktisi Hukum

ForumRakyat.com, Palembang,  —-Penyanderaan ijazah yang dilakukan oleh pihak dari sekolah SMA Negeri 18 Palembang menyentuh inti dari beberapa hak fundamental yang diakui dalam kerangka hukum nasional dan internasional. Tindakan ini bukan hanya persoalan administratif atau finansial, tetapi juga merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas pendidikan yang dijamin oleh Konstitusi Indonesia dan perjanjian internasional yang telah diratifikasi.

Di Indonesia, hak atas pendidikan diakui sebagai hak dasar yang dijamin oleh UUD 1945. Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pasal ini bukan sekadar pernyataan normatif, tetapi merupakan landasan konstitusional yang mengikat negara, termasuk semua lembaga pendidikan di bawah naungan pemerintah, untuk memastikan setiap individu mendapatkan akses penuh terhadap pendidikan tanpa diskriminasi. Pendidikan, dalam konteks ini, tidak berhenti pada proses belajar di kelas, tetapi mencakup keseluruhan hak-hak yang menyertainya, termasuk hak untuk memperoleh ijazah sebagai bukti kelulusan dan pencapaian akademis.
Ijazah adalah hak individu yang tidak bisa diganggu gugat. Ini adalah bukti formal yang menunjukkan bahwa seseorang telah memenuhi semua persyaratan akademis yang diperlukan untuk menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu.

Menahan ijazah tanpa alasan yang sah bukan hanya melanggar hak konstitusional siswa, tetapi juga menghambat mereka untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau untuk memasuki dunia kerja.

Dengan demikian, tindakan ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak atas pendidikan yang dijamin oleh konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan terkait.
Dalam persektif internasional hak atas pendidikan juga diakui secara universal dan diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional, yang mengikat Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi perjanjian-perjanjian tersebut.

Salah satu instrumen kunci adalah Pasal 26 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan dasar harus diwajibkan, pendidikan menengah harus tersedia dan dapat diakses oleh semua orang, dan pendidikan tinggi harus dapat diakses berdasarkan kapasitas individu.
Lebih lanjut, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), yang diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2005, juga menekankan pentingnya pendidikan sebagai sarana untuk memastikan setiap orang dapat berpartisipasi sepenuhnya dalam masyarakat.

BACA JUGA  Hasil Quick Count Sesuai Target, Ratu Dewa Optimis Raih Kemenangan di Pilkada Palembang 2024

Pasal 13 ICESCR menyatakan bahwa pendidikan harus tersedia, dapat diakses, dapat diterima, dan dapat diadaptasi sesuai dengan kebutuhan individu dan masyarakat. Tindakan penyanderaan ijazah dapat dianggap melanggar prinsip aksesibilitas dan penerimaan pendidikan yang diatur dalam ICESCR. Negara, melalui lembaga-lembaga pendidikan, memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa semua anak memiliki akses penuh ke hak-hak pendidikan mereka tanpa hambatan yang tidak semestinya.

Apa yang telah dialami oleh para siswa SMA Negeri 18 Palembang seharusnya penahanan ijazah tidak lah perlu di lakukan, karena hanya akan menghalangi hak legal siswa tetapi juga membawa konsekuensi sosial, ekonomi, dan psikologis yang mendalam. Ijazah adalah pintu gerbang bagi siswa untuk melanjutkan pendidikan atau memulai karier profesional. Tanpa ijazah, siswa terpaksa menghadapi batasan yang signifikan dalam mengakses pendidikan tinggi, mendapatkan beasiswa, atau memasuki pasar kerja formal. Ini dapat mengakibatkan efek berantai yang memperburuk ketidaksetaraan sosial, karena siswa yang ijazahnya ditahan mungkin berasal dari keluarga yang kurang mampu secara ekonomi.

Secara psikologis, penahanan ijazah dapat menimbulkan perasaan frustasi, stres, dan bahkan depresi pada siswa dan keluarganya. Siswa yang ijazahnya ditahan mungkin merasa diperlakukan tidak adil dan kehilangan kepercayaan pada sistem pendidikan. Mereka mungkin juga menghadapi stigma sosial, di mana mereka dan keluarga mereka dianggap tidak mampu memenuhi kewajiban keuangan atau administratif, meskipun penyebab sebenarnya mungkin lebih kompleks dan di luar kendali mereka.

Dampak psikologis ini dapat mempengaruhi kinerja akademis siswa di masa depan, serta mempengaruhi kemampuan mereka untuk berfungsi secara optimal dalam masyarakat.
Menahan ijazah siswa juga dapat dikategorikan sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang oleh institusi pendidikan.

BACA JUGA  Kawal Tahapan Pemungutan dan Perhutungan Suara Polda Sumsel Siapkan 1471 Personel

Dalam hukum administrasi negara, tindakan semacam ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) jika dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas. Sekolah, sebagai bagian dari administrasi negara, harus mematuhi prinsip-prinsip legalitas dan kepatutan dalam menjalankan tugasnya. Menahan ijazah sebagai alat untuk menekan siswa atau orang tua siswa untuk menyelesaikan kewajiban keuangan adalah tindakan yang tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga bertentangan dengan etika pendidikan dan prinsip-prinsip keadilan.

Penyalahgunaan wewenang ini dapat menimbulkan sanksi administratif atau hukum terhadap pihak sekolah. Misalnya, dalam kasus-kasus tertentu, orang tua siswa dapat menggugat sekolah melalui mekanisme peradilan administrasi atau mengajukan laporan ke Ombudsman jika mereka merasa tindakan sekolah tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Selain itu, tindakan semacam ini juga dapat menodai reputasi institusi pendidikan dan menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan di Indonesia.

Dalam kasus SMA Negeri 18 Palembang sepatutnya pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak-hak siswa dan memastikan bahwa semua lembaga pendidikan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Dinas Pendidikan setempat, perlu segera mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan kasus ini dan memastikan bahwa tindakan penyanderaan ijazah tidak terjadi lagi.

Hal ini dapat mencakup penerbitan regulasi yang lebih ketat mengenai penahanan ijazah, serta pengawasan yang lebih efektif terhadap pelaksanaan peraturan tersebut oleh sekolah-sekolah di seluruh Indonesia.

Selain itu juga Gubernur selaku pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan harus juga mempertimbangkan untuk mensosialisasiakan bahwa perbutan tersebut terdapat beberapa sanksi yang jelas dan tegas terhadap sekolah atau lembaga pendidikan yang melanggar hak siswa. Ini bisa mencakup denda, pencabutan izin operasional, atau langkah-langkah hukum lainnya yang bertujuan untuk mencegah terulangnya tindakan serupa di masa depan. Dalam hal ini, peran Ombudsman dan lembaga-lembaga perlindungan hak asasi manusia juga menjadi penting untuk memastikan bahwa hak-hak siswa dilindungi dan bahwa kasus-kasus penyanderaan ijazah segera ditangani dengan baik, semoga tindakan semacam ini tidak terjadi lagi di masa mendatang.

BACA JUGA  10 Parpol Non Parlemen Kota Palembang Gelar Deklarasi Untuk Mewujudkan Masyarakat Palembang Sejahtera

Sebelumnya seperti dilansir dari Rmolsumsel.id,Sabtu (3/8/2024) .Komisi V DPRD Sumsel langsung menggelar rapat klarifikasi dengan Kepala Sekolah SMA Negeri 18 Palembang , Heru Supeno, untuk membahas isu penahanan ijazah dan iuran komite di sekolah tersebut.

Rapat ini bertujuan untuk mencari solusi terbaik demi kepentingan semua pihak yang terlibat.

Ketua Komisi V DPRD Sumsel, Susanto Adjis menegaskan, pihaknya akan turun langsung ke lapangan untuk memverifikasi informasi yang diterima.

“Kami akan memerintahkan kepala sekolah untuk mengundang wali murid agar kita bisa memverifikasi siapa yang benar dan siapa yang salah,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya transparansi dan penegakan aturan dalam dunia pendidikan, serta mempertanyakan efektivitas pengumuman yang telah dilakukan oleh sekolah terkait pengambilan ijazah.

Wakil Ketua Komisi V DPRD Sumatera Selatan, Mgs Syaiful Padli, menambahkan urusan komite dan sekolah harus dipisahkan dengan jelas.

“Ijazah bukan urusan komite. Jika ada penahanan ijazah atas nama komite, itu salah. Kami meminta Dinas Pendidikan Sumsel untuk segera menyelesaikan masalah ini,” tegas politisi PKS tersebut.

Ia juga menekankan Komisi V DPRD Sumsel akan bersikap netral dan siap membela pihak yang merasa dirugikan. “Ijazah siswa harus dibagikan dan tidak boleh ada penahanan ijazah,” tambahnya.

Menaggapi hal itu,  Kepala SMA Negeri 18 Palembang  H. Heru Supeno berdalih bahwa banyak ijazah yang belum diambil oleh siswa sejak ia menjabat.

“Ijazah ini sudah menumpuk sejak saya menjabat, dan saya sudah meminta wali kelas untuk segera membagikannya. Saat ini, masih ada sekitar 86 ijazah yang belum diambil,” ungkapnya.

Selain itu, Heru juga mengklarifikasi persoalan iuran komite di sekolahnya dilakukan melalui kartu untuk mempermudah pencatatan dan sistem ini sudah ada sebelum ia menjabat

” Iurannya bersifat sukarela, bukan pungutan yang diwajibkan, ” jelasnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button